Oleh : Idzma Mahayattika
Bandel,
Nakal, Baong, Anak bermasalah? Label yang sangat mudah kita berikan pada anak
kita. Tapi, Sebenarnya apa yang dimaksud dengan anak bermasalah? Bukankah semua
orang mempunyai masalah? label negatif inilah yang membuat kita sering
bertindak berlebihan dalam menyelesaikan masalah pada anak. Karena bisa jadi
masalahnya sederhana. Maka dalam tulisan ini, kita akan mengenal apa itu
masalah pada anak dan bagaimana mendeteksinya.
Sebelumnya, ada beberapa hal yang
harus kita pahami dahulu. Yang pertama, kita harus paham apa yang disebut
dengan “Masalah”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, masalah adalah sesuatu yg harus diselesaikan (dipecahkan). Definisi
yang belum menjelaskan apa itu “masalah”. Baik, dengan mudah kita bisa mengatakan
“Masalah” adalah sebuah kondisi dimana kenyataan (realita) tidak sesuai dengan
idealita. Kesenjangan inilah yang disebut masalah. Kemudian, agar kita bisa
mengidentifikasi masalah tersebut adalah benar-benar “masalah” maka kita harus
mempunyai tolok ukurnya. Apa yang menjadi tolok ukur kita untuk mengatakan
bahwa sesuatu itu ideal? Dalam mengenal masalah pada anak, Ada dua hal yang
bisa kita jadikan patokan, yaitu tugas/tahapan perkembangan dan nilai-nilai
(value) atau norma yang berlaku. Tugas perkembangan adalah kemampuan yang harus
dimiliki seseorang sesuai dengan usia perkembangannya. Misal tugas perkembangan
dalam aspek bahasa untuk anak usia 6 tahun adalah mampu menceritakan alur
cerita. Jika ia tidak bisa, atau belum bisa maka itu bisa dikategorikan
masalah. Sedangkan nilai adalah sesuatu yang dianggap penting oleh pribadi
maupun masyarakat. Nilai ini bisa berbentuk nilai hukum, nilai agama, nilai
moral dll. Ketika mengenali anak bermasalah, kita berpatokan pada dua patokan
tersebut. Bukan dengan membandingkan dengan anak lain atau berdasarkan persepsi
pribadi kita.
Kedua, kita harus paham bahwa
seorang anak adalah pribadi yang unik. Maka, ketika kita mendeteksi masalah
pada anak, kita tidak membandingkannya dengan anak lain, namun dengan kedua patokan
diatas.
Ketiga, pendidikan pada dasarnya
disesuaikan dengan individu anak. Tugas orang tua dan pendidik untuk mendidik
sesuai dengan potensi masing-masing anak. Tidak menyamaratakan anak dalam
proses pendidikan.
Keempat, kontekstual. Orang tua
dan pendidik, harus memandang masalah anak sesuai dengan konteks-nya, tidak
menggeneralisasinya. Misalnya seorang anak mempunyai masalah dengan pelajaran
matematika, maka selesaikan masalah pelajaran matematikanya. Tidak
menggeneralisasi ia juga bermasalah dengan pelajaran lain atau ia juga anak
yang bermasalah dengan perilaku. Cara pandang yang kontekstual Ini, selain
mempermudah kita menyelesaikan sebuah masalah juga mencegah kita untuk
memberikan label negatif pada anak.
Kelima, menerima. Orang tua maupun
pendidik harus “menerima” dahulu bahwa ada hal yang tidak sesuai dengan kondisi
ideal di anak kita. Termasuk menerima jika ternyata akar masalahnya ada di diri
kita sebagai orang tua atau pendidik.
Jika sudah memahami hal-hal
diatas, maka kita akan lebih mudah dalam mendeteksi dan menangani sebuah
masalah yang terjadi pada anak. Masalah yang “terlihat” atau yang tampak di
permukaan, biasanya bukanlah akar masalahnya atau bukan masalah yang
sebenarnya. Masalah yang tampak adalah akibat dari sebuah akar masalah. Untuk
mengetahui apa yang menjadi akar masalah maka kita harus menggali lebih dalam
lagi. Kesalahan melihat masalah ini akan membuat kita tidak tuntas dalam
menyelesaikan sebuah masalah, Sehingga masalah itu akan muncul kembali di masa
yang akan datang. Kenapa? Karena akar masalahnya belum diselesaikan dengan
tuntas. Misalkan seorang anak kecil yang merokok. Kita bisa menyelesaikan
dengan terapi berhenti merokok atau membuat peraturan dilarang merokok, namun
tidak lama kemudian ia merokok kembali. Ternyata akar masalahnya belum selesai,
yaitu lingkungannya yang perokok berat. Ketika rokok dengan mudah didapat dan
ada dorongan dari lingkungan, maka ia pun ikut merokok lagi. Namun jika
lingkungannya juga diintervensi, maka masalah ini akan bisa diselesaikan dengan
tuntas.
Lalu, Bagaimana cara mencari akar
masalahnya? Ilmu Neuro Linguistic programming (NLP) mempunyai “tool” yang akan
mempermudah kita mencari akar dari sebuah masalah. Praktisi NLP menggunakan
neurological level untuk mencari dimana letak sebuah masalah, dan kemudian
melakukan intervensi yang tepat sesuai dengan letak masalahnya.
Neurological level adalah sebuah teknik yang untuk
menjelaskan secara sistematis bagaimana sebuah perubahan dapat mempengaruhi
seseorang. Neurological level ini bisa dibagi menjadi 6 tingkatan yang saling
mempengaruhi satu sama lain, yaitu:
- Spiritual. Merupakan level tertinggi yang menaungi semua level. Ini adalah level dimana seseorang menanyakan makna keberadaannya di dunia serta berbagai peran yang ingn ia jalani. Karena menjadi tempat bernaung, level ini memiliki pengaruh yang besar bagi keseluruhan sistem kehidupan seseorang.
- Identitas (identity). Tingkatan yang banyak berbicara tentang identitas diri, misi hidup, nilai-nilai inti dalam hidup dll
- Nilai&kepercayaan (value&belief). Rangkaian dari berbagai macam hal yang kita yakini kebenarannya dan menjadi landasan dari perilaku kita sehari-hari.
- Kemampuan (capability). Sekumpulan ketrampilan, keahlian, dan strategi yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
- Perilaku (behavior). Perilaku spesifik yang kita lakukan
- Lingkungan (environment). Reaksi kita terhadap lingkungan tempat kita hidup.
Ketika kita mengetahui, di level mana akar masalahnya
maka kita akan lebih mudah untuk mengintervensi dan menyelesaikan masalahnya.
Misalnya jika anak kita nilai matematikanya jelek. Kita bisa tahu masalahnya
ada di level mana, ketika kita menggali masalahnya dan menemukan :
- Rumahnya terlalu berisik, ia tidak dapat belajar dengan baik. Atau sekolahnya tidak mengajarkan matematika dengan baik. Maka kita tahu masalahnya ada di level lingkungan. Perbaikan yang bisa kita lakukan ialah memperbaiki lingkungannya atau memindahkannya ke lingkungan baru yang lebih baik.
- Ia jarang belajar matematika di rumah maupun di sekolah. Maka kita tahu jika masalahnya ialah di level perilaku (behavior). Maka yang kita lakukan ialah mengintervensi perilakunya, misal dengan membuat jadwal belajar yang lebih rutin.
- Ia tidak bisa perkalian, maka kita tahu masalahnya ada di level kemampuan. Maka yang bisa kita lakukan mengajari perkalian dengan metode yang tepat. Untuk anak, kita cek lagi apakah tugas/beban yang diberikan padanya sudah sesuai dengan tugas perkembangannya serta minat dan bakatnya. Misalnya jika soal perkalian diberikan pada anak usia 6 tahun. Maka masalah bukan terjadi pada anak, namun pada orang tua/pendidik yang tidak memahami tugas perkembangan. Atau ternyata setelah dilakukan observasi kecerdasan majemuknya, ia menonjol dalam bidang linguistik, sedangkan logika-matematikanya lemah. Maka yang kita lakukan adalah mengasah potensi terkuatnya, yaitu linguistik. Matematikanya? Tetap diintervensi namun tidak menjadi prioritas, yang penting ia dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
- Jika ia merasa matematika itu susah. Berarti masalahnya ada di level kepercayaan (belief). Yang bisa kita lakukan ialah mengubah kepercayaannya agar percaya bahwa matematika itu mudah.
- Jika ia merasa ia adalah anak yang bodoh dalam matematika, maka kita tahu masalahnya ada di level identitas. Tugas kita ialah mengganti identitasnya menjadi positif.
Dari paparan diatas, semoga bisa mengubah cara
pandang kita tehadap masalah-masalah yang terjadi pada anak. Sehingga kita akan
lebih mudah dalam mendeteksi dan kemudian menyelesaikannya. Untuk senyum anak
Indonesia.
Tentang Kak Idzma Mahayattika
Ayah 2 anak ini merupakan seorang family hypnoterapis,
grafolog, coach, trainer dan praktisi pendidikan anak di Kidzsmile Foundation
(yayasan Senyum Anak Indonesia). ia merupakan anggota National Guild of
hypnotist, Inc, USA dan The Indonesian Board of hypnotherapy. Selain dengan
metode hypnosis, dalam melakukan terapi dan coaching Kak Idzma juga menggunakan
metode EFT (Emotional Freedom Technic), NLP (neuro linguistic programming),
play-art, ego state dan metode-metode lainnya. Kak Idzma memang sangat cinta
dengan anak-anak, beliau suka mendongeng untuk anak-anak.
Saat
ini Kak Idzma juga sedang mendalami Pendidikan Anak Usia Dini di Pasca Sarjana
Universitas Negeri Jakarta. Ia juga seorang relawan kemanusiaan yang memiliki
banyak pengalaman Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Mengenal Masalah pada Anak. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://mediapendidikanlentera.blogspot.com/2015/01/mengenal-masalah-pada-anak.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
lentera pena - Thursday, January 1, 2015
Belum ada komentar untuk "Mengenal Masalah pada Anak"